Martin Heidegger sempat menyampaikan pendapatnya tentang ‘humanisme’ di dalam sebuah surat. Surat itu adalah jawaban atas surat yang dikirim oleh Jean Beaufret – seorang filsuf Perancis – kepadanya. Beaufret mengirim sebuah surat yang menanyakan, “Bagaimana kita merestorasi makna kata humanisme?”, disertai oleh empat artikel mengenai eksistensialisme Perancis.
Tulisan ini menggunakan surat Letter on “Humanism” terjemahan Frank A. Capuzzi, yang terdapat di dalam kumpulan tulisan Heidegger Pathmarks terbitan Cambridge University Press.
Secara umum, Heidegger menentang humanisme – juga -isme lainnya – karena berpendapat bahwa penamaan seperti itu justru mengakhiri tindakan berpikir yang sejati. Ia mengatakan, “Bahkan nama seperti logika, etika, dan fisika mulai berkembang hanya jika berpikir yang sejati sampai pada akhirnya.” (Heidegger, Humanism, 241)
Heidegger juga mengingatkan, “Pada masa kejayaannya, orang Yunani berpikir tanpa nama-nama seperti itu. Mereka bahkan tidak menyebut berpikir sebagai filsafat.” (Heidegger, Humanism, 241)
Selanjutnya, Heidegger juga tampak ingin menunjukkan bahwa humanisme hanya berurusan dengan persoalan partikular yang tidak mendasar. Ia mengatakan bahwa humanisme itu hanya berurusan dengan membuat “…manusia (man/homo) menjadi manusiawi (human/humanus)” (Heidegger, Humanism, 243-4), dan tidak menjadi tidak-manusiawi (inhuman).
Namun, yang disebut manusiawi sendiri adalah manusia yang dididik dan dilatih dengan cara tertentu – dalam konteks ini cara Romawi – dan diperlawankan dengan manusia barbar – manusia di luar orang Romawi terdidik.
Kritik atas humanisme
Penentangan Heidegger yang lebih filosofis terhadap humanisme – dan salah satu kelemahan humanisme menurutnya – adalah Humanisme itu berdasarkan metafisika atau menjadi dasar bagi metafisika. (Heidegger, Humanism, 245)
Penjelasan Heidegger, setiap tujuan untuk mencapai esensi manusia, yang sudah mengandaikan suatu interpretasi tentang pengada-pengada tanpa mempertanyakan kebenaran tentang Ada, adalah sebuah metafisika.
Menurut Heidegger, yang dicapai oleh humanisme metafisika ini bukan esensi manusia, melainkan ‘kemanusiawian’ – maksudnya, konsepsi manusia yang tidak mendasar. Namun, yang paling penting, humanisme metafisika “…tidak mempertanyakan hubungan Ada dengan esensi manusia”. (Heidegger, Humanism, 245)
Kelemahan lain humanisme menurut Heidegger adalah mengandaikan esensi manusia itu adalah ‘hewan rasional’ (animal rationale) (Heidegger, Humanism, 245). Heidegger mengakui, definisi esensial ini tidak keliru, tetapi dalam pengertian metafisika.
Masalahnya adalah, “Metafisika tidak merepresentasikan pengada-pengada dalam adanya, juga tidak memikirkan adanya pengada-pengada.” (Heidegger, Humanism, 246) Bahkan tidak memikirkan perbedaan antara Ada dan pengada.
Singkatnya, metafisika tidak mempertanyakan kebenaran tentang Ada. Sehingga, humanisme metafisis pun tidak mempertanyakan hubungan esensi manusia dengan kebenaran tentang Ada.
Mengenai definisi hewan rasional itu sendiri, Heidegger berpendapat, definisi ini menyatakan bahwa esensi manusia secara primordial berada di dalam dimensi kehewanannya (animalitas). Dengan demikian humanisme metafisis telah salah arah, karena yang menjadi kepeduliannya adalah kemanusiaan (humanitas), tetapi memikirkan manusia atas dasar kehewanan (animalitas) (Heidegger, Humanism, 246-7).
Melihat perkembangan humanisme sampai pada dirinya – seperti yang sudah kita bahas – Heidegger berpendapat, bahkan tetap menggunakan nama ‘humanisme’ pun akan membuat kita terbawa arus (pemikiran humanisme metafisis), terperangkap di dalam subjektivisme metafisis, dan tenggelam dalam kelupaan akan Ada (Heidegger, Humanism, 263).
Apa yang ia ajukan bagi masalah ini adalah, destruksi terhadap konsep manusia sebagai ‘hewan berpikir’, konsep manusia sebagai ‘subjek’, dan pada puncaknya – seperti proyeknya dalam Being and Time – destruksi terhadap ‘metafisika’.
Memang bagi Heidegger, metafisikalah yang membuat humanisme menjadi salah arah. Alasannya adalah, karena metafisika tidak mengenal perbedaan ontologis, di dalamnya manusia itu hanya satu pengada di antara pengada-pengada lain, padahal – menurut Heidegger – berbeda dengan pengada lain, manusia itu eksis.
Alasan lainnya, metafisika tidak mengenal Ada. Dalam metafisika, Ada dianggap sebagai pengada tertinggi, namun tetap suatu pengada.
Semangat destruksi ini tertuang dalam ajuannya, “Apakah berpikir, dalam pengertian sebagai perlawanan terbuka terhadap “humanisme”, harus mengambil risiko untuk membuat terkejut dan menyebabkan kebingungan terkait humanitas (kemanusiaan) dari homo humanus (manusia manusiawi) dan dasarnya?” (Heidegger, Humanism, 263)
Bagi Heidegger tujuan destruksi ini adalah, agar kita dapat memikirkan esensi manusia dalam terang Ada. Singkatnya, mencapai humanisme yang sejati.
Tulisan ini sudah dimuat di Qureta. Dimuat ulang sebagai arsip.