Sebuah Tulisan tentang Film Joker (2019)
Spoiler Alert! Tulisan ini menyampaikan poin-poin penting dan akhir dari cerita film Joker.
Sensasi Joker
Film Joker (2019) itu sensasional. Anda bisa suka atau tidak suka dengan film itu. Yang sulit, tidak merasakan apa-apa terhadapnya. Setidaknya ada tiga sensasi terhadap Joker. Pertama, kaget. Diketahui banyak orang, Joker itu musuh Batman, tokoh dari dunia komik, yang biasa dikonsumsi anak-anak. Orang yang menduga akan menyaksikan tokoh badut yang biasanya ada dalam hiburan anak-anak, tentunya akan kaget, karena film garapan Todd Phillips itu ditujukan untuk penonton dewasa, membicarakan tema-tema dewasa, memiliki kompleksitas cerita yang hanya dimengerti – atau tidak – oleh orang dewasa, dan menampilkan adegan-adegan yang hanya cocok disaksikan oleh orang dewasa. Orang-orang yang kaget, setelah menonton filmnya, akan bilang, “Jangan bawa anak-anak ya, filmnya ga cocok buat mereka.”
Kedua, tidak nyaman. Orang umumnya menonton film untuk mendapatkan hiburan. Apalagi jika antisipasinya adalah menonton film tentang tokoh komik. Untuk memenuhi itu, banyak film menampilkan pemandangan, adegan, cerita, pokoknya segala hal yang indah atau dibuat indah. Bahkan perang pun bisa ditampilkan dengan indah. Jangan harap hal itu ada dalam film Joker. Bukan hanya tokoh dan kisahnya yang gelap, tentang orang yang bergumul dengan kondisi mental dan penderitaan hidupnya. Kotanya pun kotor dan jorok. Gotham dalam film Joker adalah kota yang kumuh, sampah berserakan di mana-mana, dan tengah diserang hama tikus raksasa. Menonton film itu, jangankan terhibur, nyaman pun tidak.
Ketiga, takut akan dampaknya. Kelanjutan dari sensasi pertama dan kedua, sensasi ini muncul setelah selesai menonton filmnya. Takut film gelap bertema dewasa itu mempunyai dampak atas dunia nyata. Mungkin yang paling umum adalah, takut ada orang di dunia nyata yang meniru apa yang dilakukan Joker dalam film, terutama membunuh. Selain itu, ada pula yang takut, orang di dunia nyata ‘ketularan’ kondisi yang dimiliki tokoh yang dimainkan Joaquin Phoenix itu dalam film, ikut-ikutan merasa mempunyai kondisi mental, dan melakukan hal-hal aneh.
Karena kesensasionalannya itu, banyak orang membicarakan film Joker. Mulai analisis serius dari berbagai sudut pandang – sosiologis, psikologis, bahkan moralis – sampai meme viral, “Orang jahat lahir dari orang baik yang …”
Matinya Arthur Fleck
Apa yang dilakukan sang protagonis sepanjang film itu adalah segala upaya untuk melepaskan dirinya dari jerat-jerat “sistem” (Joker). Namun, upaya demi upaya yang dilakukan sang protagonis itu mematikan satu bagian dirinya, sekaligus memunculkan bagian yang lain.
Film Joker berlatar Gotham – kota tempat Batman dan musuh-musuhnya beraksi – di tahun 1981. Pada masa itu, warga Gotham bergulat dengan pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan. Kotanya sendiri dililit oleh masalah keuangan. Dinas kebersihan tidak dibayar, membuat sampah tidak diangkut dan menumpuk. Jaminan kesehatan dipotong, membuat sebagian warga tidak mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan.
Arthur Fleck hidup di dalam kota dan masyarakat dengan “sistem” yang bobrok seperti itu.
Namun untuk Arthur, seorang badut, berpendapatan pas-pasan, dengan kondisi mental tidak dapat mengontrol tawanya, dan mengandalkan BPJS versi Gotham untuk menanggulangi kondisinya itu, “sistem” selalu menilainya salah. Salah waktu, salah tempat, salah kostum, salah karena miskin, salah karena aneh, dan salah-salah lainnya. Karena salah, “sistem” pun menghukumnya.
Untuk Arthur, satu-satunya yang bekerja dalam “sistem” itu adalah hubungan dengan ibunya. Arthur mengurus dan merawat ibunya, sebagaimana ibunya mencintai dan mengasihi Arthur sejak kecil. Setidaknya Arthur pikir demikian.
Sebagai bagian ‘kelas bawah’ dalam “sistem”, Arthur harus menerima berbagai perlakuan yang kebanyakan buruk dari orang-orang yang memang atau merasa di atasnya. Salah satunya, remaja-remaja yang mengganggunya saat bekerja. Tidak selesai sampai di situ, ia bahkan harus mengganti kerusakan yang dibuat remaja-remaja itu.
Puncaknya, setelah dipecat dari tempat kerjanya, dan tidak lagi mendapatkan penanganan dan obat untuk kondisi mentalnya, Arthur di-bully dan dikeroyok oleh tiga orang eksekutif perusahaan Wayne – milik Thomas Wayne yang anaknya kelak menjadi Batman – di kereta bawah tanah.
Tidak tahan lagi dengan perlakuan “sistem” dan orang-orang atasnya, Arthur pun membunuh tiga eksekutif itu. Setelah syok atas apa yang telah dilakukannya, ia lantas dengan ringannya menari, seperti terbebas dari jeratan yang menyesakkan. Persisnya, ia terbebas dari jerat sistem kelas dalam masyarakat, yang punya aturan tak tertulis, “Yang atas boleh sewenang-wenang pada yang bawah.”
Ke depannya, Joker akan melawan bahkan membunuh orang-orang yang menghinanya, menertawakannya, mem-bully-nya, pokoknya sewenang-wenang terhadapnya. Bukan untuk balas dendam, tetapi untuk “… membuat orang-orang tertawa”. Kalau orang-orang tidak tertawa, menurut Joker, itu karena mereka tidak mengerti apa yang dilakukannya sebagai komedi yang lucu.
Dengan melawan hingga membunuh tiga eksekutif perusahaan Wayne itu, dimulailah proses kematian Arthur dan kelahiran Joker.
Proses itu berpuncak setelah Arthur membunuh ibunya. Hubungan dengan ibunya, tadinya ia pikir, adalah satu-satunya yang bekerja dalam “sistem”. Hubungan kasih sayang orang tua dan anak, di mana ia mengurus dan merawat ibunya, sebagaimana ibunya mencintai dan mengasihinya sejak kecil. Namun, Arthur kemudian mengetahui, ibunya kemungkinan berbohong, tentang siapa sebenarnya ayahnya, siapa sebenarnya ibunya, dan karenanya siapa sebenarnya dirinya. Lebih parah lagi, ia pun kemudian mengetahui, ibunya membiarkan pacarnya saat itu menyiksa Arthur kecil hingga mengalami trauma parah di kepalanya.
Lahirnya Joker
Mengetahui satu-satunya hubungan yang – tadinya ia pikir – bekerja dengan baik itu adalah kebohongan, membuat eksistensi Arthur Fleck sekarat, melemah menuju kematian. Semakin lemah Arthur Fleck, semakin kuat Joker muncul ke permukaan. Dengan pengetahuan itu, Arthur menghampiri ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Namun agaknya, yang datang ke rumah sakit bukanlah Arthur, melainkan Joker. Sebab, ia berkata demikian kepada ibunya, “Remember you used to tell me that my laugh was a condition, that there was something wrong with me? It isn’t. That’s the real me.” (Ingatkah ibu selalu bilang tawaku itu suatu penyakit, bahwa ada yang salah denganku? Bukan. Itu aku yang sebenarnya.) (Joker). Kemudian, ia membekap ibunya dengan bantal sampai mati.
Setelah membunuh ibunya, Arthur Fleck mati, dan Joker lahir.
Setiap perbuatan yang sesuai dengan ‘kenormalan’ akan memperkuat ikatan jaring “sistem” itu, sedangkan setiap perbuatan yang bertentangan dengan ‘kenormalan’ akan memutus satu ikatan jaring itu. ‘Ibu’ sendiri mempunyai banyak peran penting dalam ‘kenormalan’, yang melahirkan, yang mengurus, yang menyayangi, dan sebagainya. Sehingga ‘ibu’ menjadi titik dari salah satu ikatan utama jaring ‘kenormalan’. Melakukan hal yang sesuai ‘kenormalan’ kepada ‘ibu’, akan memperkuat ikatan jaring ‘kenormalan’, dan diberi upah oleh “sistem”, misalnya dipuji sebagai ‘anak yang berbakti’. Melakukan hal yang bertentangan dengan ‘kenormalan’ kepada ‘ibu’, akan memutuskan ikatan utama jaring ‘kenormalan’, bahkan hingga ‘kenormalan’ tidak dapat lagi menopang orang itu. Jika seseorang sudah tidak ditopang ‘kenormalan’, orang itu dapat dinilai ‘tidak normal’, ‘tidak waras’, ‘gila’, atau penilaian-penilaian seperti itu. Hal ini misalnya tertuang dalam reaksi banyak orang ketika mendengar berita seorang anak membunuh ibunya, “Udah gila kali tuh orang.” Jadi dengan membunuh ibunya, sistem yang sejak awal sudah tidak bekerja dengan baik untuk Arthur, dan semakin banyak ikatannya yang putus seiring perbuatan-perbuatan salah yang dilakukan Arthur, itu jebol dan tidak bisa lagi menopang ‘kenormalan’. Arthur Fleck yang meski pecundang, tidak lucu, aneh, miskin, tetapi masih dan berusaha untuk tetap normal itu pun mati.
Ketika ia membekap ibunya sampai mati, Joker mendorong dirinya keluar dan memutuskan hubungan dengan ibunya, seperti lahirnya seorang bayi yang diikuti pemotongan tali pusat. Joker pun telah lahir.
Joker yang baru lahir ini bukanlah Arthur Fleck, manusia yang terikat dengan norma-norma dan hanya menerima apa yang dunia lemparkan kepadanya. Joker adalah makhluk tanpa ikatan, seperti yang dikatakannya, “I’ve got nothing left to lose. Nothing can hurt me anymore.” (Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada yang dapat menyakitiku lagi.) (Joker). Dengan kebebasannya, ia ingin menciptakan dunia yang menjadikannya pusat, dunia yang orang-orangnya tertawa dan bersukaria dengan apa yang dilakukannya. Bukan menertawakan dirinya, tetapi menertawakan apa yang dilakukan Joker karena memahaminya sebagai komedi yang lucu.
Joker telah datang
Kini saatnya Joker mewartakan kedatangannya pada dunia. Tahun 80-an, kalau ingin terkenal, ya masuk TV, kan belum ada internet, media sosial, Youtube, dan sebagainya. Sebelumnya, Arthur mendapat undangan untuk tampil di talk show Murray Franklin, karena acara itu memperoleh video pementasannya yang gagal. Arthur yang ingin menjadi pelawak berkesempatan untuk melakukan stand up comedy. Namun di atas pentas, Arthur gagal menyelesaikan pertunjukannya karena kumat, ia terus-menerus tertawa secara tak terkendali. Ternyata kejadian itu ada yang merekam, dan dikirim untuk diputar di acara talk show TV. Orang-orang tertawa dibuatnya, tetapi bukan menertawakan lawakan Arthur, melainkan menertawakan kegagalannya. Arthur pun diundang ke acara itu untuk ditampilkan sebagai pelawak gagal yang cuma bisa tertawa-tawa.
Untuk tampil di acara itu, ia mengecat rambutnya dengan warna hijau, merias mukanya dengan riasan badut, dan mengenakan setelan jas berwarna cerah. Hal ini membuatnya tampil sebagai Joker.
Di acara itu Joker, tidak menerima saja seperti Arthur Fleck, menggugat sistem dan masyarakat, “All of you, the system that knows so much, you decide what’s right or wrong. The same way that you decide what’s funny or not.” (Kalian semua, sistem yang tahu segalanya, kalian memutuskan apa yang benar dan apa yang salah. Sebagaimana kalian memutuskan apa yang lucu dan apa yang tidak lucu.) (Joker). Selanjutnya Joker mengakui, ia lah yang membunuh tiga eksekutif perusahaan Wayne. Ketika seluruh penonton di studio menghakimi dan mencelanya, ia menggugat kembali, “Oh, why is everybody so upset about these guys? If it was me dying on the sidewalk, you’d walk right over me. I pass you everyday and you don’t notice me!” (Kenapa semua orang begitu marah tentang pembunuhan orang-orang itu? Jika saya yang sekarat di pinggir jalan, kalian akan lewat begitu saja. Saya bertemu kalian setiap hari dan kalian tidak kenal saya!) (Joker). Joker pun menutup penampilannya di TV dengan aksi yang spektakuler, menembak pembawa acara talk show itu Murray Franklin, di depan semua penonton di studio dan pemirsa di rumah.
Dunia yang diinginkan Joker tampaknya mulai terbentuk. Pembunuhan yang dilakukan Arthur terhadap tiga eksekutif Wayne menyebar lewat berita sebagai ‘pembunuhan kelas atas oleh orang berias badut’. Gotham yang dilanda kesenjangan sosial, membuat penerimaan atas peristiwa itu terbagi, ada yang mengutuknya sebagai pembunuhan keji, tetapi banyak pula yang menerimanya sebagai perlawanan terhadap kelas atas, dan menjadikan badut sebagai simbol perjuangan kelas. Pada saat Joker tampil di TV, orang-orang yang terinspirasi si badut melakukan demonstrasi di jalan, untuk melawan sistem yang tidak adil, dengan menggunakan topeng badut. Demo kemudian tersulut menjadi huru-hara. Penampilan Joker di TV membuat para demonstran tahu siapa inspirator mereka. Ketika Joker sudah keluar dari studio TV dan berada di tengah huru-hara itu, ia menyaksikan Gotham yang kacau, yang berarti “sistem” telah rusak. Ia pun melihat para demonstran menyorakinya bak seorang pahlawan, mungkin untuk pertama kali orang-orang menerimanya seperti itu. Untuk Joker, ini bukan huru-hara, ini adalah hura-hura. Ia dengan sukaria menikmati kerusakan “sistem” dan pujaan orang banyak.
Kalau mau belajar dari film Joker, ketika kita bertanya seperti, “Sampai mana skripsinya?”, “Sudah kawin?”, “Sekarang kerja di mana?”, atau ketika kita menilai orang lain dengan, “Dasar bodoh”, “Ga lucu”, “Pecundang”, pokoknya menanyakan atau menilai orang dengan hal-hal normal yang biasanya orang lakukan, itu artinya kita menjadi agen ‘kenormalan’, orang yang menerapkan atau memeriksa apakah hidup seseorang sesuai dengan ‘kenormalan’ atau tidak. Ingat, seperti dalam film, ‘kenormalan’ menghukum orang yang hidup tidak sesuai dengannya, tetapi “sistem” itu belum tentu adil. Ketika kita menanyai atau menilai orang lain, jangan-jangan dalam diri orang itu ada Joker yang menanti untuk lepas. Tidak usah takut, dalam dunia yang keras dan dingin, dengan “sistem” yang tidak adil, setiap orang adalah Arthur Fleck yang menanti untuk diajak bicara dan dipahami. Mungkin juga, diajak nonton film Joker.
Film
Joker. Sutradara Todd Phillips. Warner Bros. Pictures, 2019. Film.